BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Landasan Teoritis
2.1.1. Ruang Lingkup Kinerja
1. Definisi Kinerja
Lingkup aktivitas kerja tersebut
merupakan tingkat aktivitas kerja yang merupakan hasil dari tingkatan hasil
dari kerja atau yang biasa disebut dengan hasil kerja atau juga bisa disebut
dengan kinerja pegawai. Karyawan menginginkan dan memerlukan balikan
berkenan dengan prestasi mereka dan penilaian menyediakan kesempatan untuk
memberikan balikan kepada mereka. Jika kinerja tidak sesuai dengan standar,
maka penilaian memberikan kesempatan untuk meninjau kemajuan karyawan dan untuk
menyusun rencana peningkatan kinerja.
Istilah kinerja berasal dari Job Performance atau Actual
Performance (prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai oleh
seseorang).
Ivancevich, (2009:
59) menjelaskan kinerja didefinisikan secara formal sebagai jumlah dan kualitas
dari tugas yang terselesaikan secara individu, kelompok atau organisasional.
Menurut Rivai (2009 :548)
menjelaskan kinerja suatu fungsi dari motivasi dan kemampuan untuk menyelesaikan tugas
atau pekerjaan seseorang yang sepatutnya memiliki derajat kesediaan dan tingkat
kemampuan tertentu.
Menurut Dharma
(2005:64) bahwa kinerja adalah sesuatu yang dikerjakan atau produk/jasa yang
dihasilkan atau diberikan oleh seseorang atau sekelompok orang.
Sedangkan
menurut Soeprihantono (1988:7) bahwa kinerja adalah hasil pekerjaan seorang
karyawan selarna periode tertentu dibandingkan dengan berbagai kemungkinan,
misalnya standard, target/ sasaran/kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu
dan telah disepakati bersama.
Dari beberapa
definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah hasil yang telah
dicapai oleh karyawan berdasarkan ukuran yang berlaku untuk suatu tugas atau
pekerjaan yang telah dilaksanakan dalam waktu tertentu. Dalam mengelola
organisasi sebenarnya adalah mengelola berbagai ragam, sikap, dan kemampuan
manusia agar mereka bekerja menuju satu tujuan yang direncanakan. Namun di
dalam pelaksanaannya selalu ada kemungkinan terjadinya benturan karena adanya
perbedaan kepentingan yang mengakibatkan prestasi kerja tidak optimal. Kinerja
adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijaksanaan
dalam mewujudkan sasaran, tujuan, mini dan visi organisasi.
2. Penilaian Kinerja
Penilaian kinerja karyawan pada dasarnya merupakan penilaian yang
sistematik terhadap penampilan kerja pegawai itu sendiri dan terhadap taraf potensi pegawai
dalam upayanya mengembangkan diri untuk kepentingan organisasi. Dalam
penilaian pegawai, sasaran yang menjadi obyek penilaian antara lain adalah
kecakapan dan kemampuan pelaksanaan tugas yang diberikan, penampilan dalam
pelakanaan tugas yang diberikan, cara membuat laporan atas pelakanaan tugas,
ketegaran jasmani maupun rohaninya selama bekerja dan sebagainya.
Evaluasi kinerja memiliki banyak makna dan kegunaan baik individu
itu sendiri maupun bagi organisasi dimana individu bekerja. Secara spesifik,
tujuan dari evaluasi kinerja sebagaimana dikemukakan Agus Sunyoto dalam
Mangkunegara (2005: 10-11) adalah:
a.
Perbaikan/peningkatan prestasi
kerja. Penilaian kerja memberi feedback bagi karyawan, atasan dan
personalia agar dapat meningkatkan prestasi kerja mereka.
b.
Penyesuaian-penyesuaian
kompensasi. Adanya penilaian kinerja akan membantu para atasan atau pengambil
keputusan dalam menentukan kenaikan upah, pemberian bonus dan program
kompensasi lainnya.
c.
Keputusan-keputusan penempatan. Terjadinya promosi, transfer, dan
demosi biasanya didasarkan pada penilaian kinerja dimasa lalu. Promosi merupakan bentuk penghargaan terhadap prestasi kerja masa
lalu.
d.
Kebutuhan-kebutuhan latihan dan
pengembangan. latihan diberikan atas adanya prestasi yang kurang balk dari
karyawan. Sedangkan
prestasi yang baik mungkin mencerminkan adanya potensi yang harus
dikembangkan.
e.
Perencanaan dan pengembangan karier. Penilaian dapat di gunakan untuk umpan
balik prestasi yang mengarah pada keputusan karier karyawan, seperti jalur
karier tertentu.
f.
Penyimpangan-penyimpangan proses staffing. Prestasi karyawan baik
atau buruk mencerminkan adanya kebaikan atau kelemahan prosedur staffing bagian
personalia dalam organisasi.
g.
Ketidak akuratan informasi. Prestasi jelek menunjukkan adanya
kesalahan-kesalahan dalam informasi analisis Jabatan, rencana sumber daya
manusia atau komponen lain dari sistim informasi sumber daya manusianya.
Menggantungkan pada informasi yang tidak tepat/tidak akurat akan menyebabkan
keputusan-keputusan yang diambil tidak tepat.
h.
Kesalahan-kesalahan desain pekerjaan Prestasi Jelek mungkin merupakan
adanya suatu kesalahan dalam desain pekerjaan. Penilaian
prestasi akan membantu mendiagnosa kesalahan-kesalahan yang terjadi.
i.
Kesempatan kerja yang adil.
Penilaian prestasi kerja yang akurat akan menjamin keputusan penempatan
internal diambil tanpa adanya diskriminasi terhadap bawahan.
j.
Tantangan-tantangan eksternal.
Kadang-kadang prestasi kerja dipengaruhi oleh Faktor yang ada di luar
lingkungan kerja, seperti kesehatan, masalah keluarga, kondisi keuangan dan
problem pribadi lainnya.
Sementara itu Dessler (1995:512) memberikan beberapa alasan tentang perlunya menilai prestasi kerja
karyawan. Adapun alasan tersebut antara lain:
a.
Menyediakan informasi sebagai
dasar untuk pengambilan keputusan tentang promosi dan gaji.
b.
Menyediakan kesempatan untuk bersama-sama meninjau perilaku yang berkaitan dengan
pekerjaan.
c.
Memungkinkan menyusun suatu rencana untuk memperbaiki setiap defisiensi
yang dapat dideteksi /diketahui.
Pelaksanaan penilaian prestasi kerja/kinerja seharusnya didasarkan pada
standar-standar pada persyaratan kerja. Persyaratan kerja sebaliknya meliputi
standar-standar kinerja yang terdokumentasi yang didasarkan pada analisis
Jabatan yang cermat dalam organisasi.
3.
Pengukuran kinerja
Penilaian kinerja ini pada dasarnya merupakan salah satu faktor kunci guna
mengembangkan suatu organisasi secara efektif dan efisien. Evaluasi pencapaian kinerja karyawan terhadap tercapainya
sasaran. yang diharapkan, sekaligus evaluasi terhadap besarnya penyimpangan
dengan cara membandingkan antara hasil pekerjaan secara aktual dengan hasil
yang diharapkan, maka perlu ditetapkan standar dalam pengukurannya.
Penilaian kinerja merupakan upaya membandingkan
prestasi aktual karyawan dengan prestasi kerja dengan yang diharapkan darinya
(Dessler 2000:76). Dalam penilaian
kinerja karyawan tidak hanya menilai hasil fisik, tetapi pelaksanaan pekerjaan
secara keseluruhan yang menyangkut berbagai bidang seperti kemampuan kerja,
kerajinan, kedisiplinan, hubungan kerja atau hal-hal khusus sesuai dengan
bidang dan level pekerjaan yang dijabatnya.
Menurt Dessler (2000:81) ada lima faktor dalam penilaian kinerja yang
populer, yaitu prestasi pekerjaan, meliputi: akurasi, ketelitian, keterampilan,
dan penerimaan keluaran, kuantitas pekerjaan, meliputi: volume keluaran dan
kontribusi, kepemimpinan yang diperlukan, meliputi: membutuhkan saran, arahan
atau perbaikan, kedisiplinan, meliputi: kehadiran, sanksi, warkat, regulasi,
dapat dipercaya/diandalkan dan ketepatan waktu, komunikasi, meliputi: hubungan
antar karyawan maupun dengan pimpinan, media komunikasi.
Handoko (2002:77) pengukuran kinerja adalah usaha untuk merencanakan dan mengontrol proses
pengelolaan pekerjaan sehingga dapat dilaksanakan sesuai tujuan yang telah
ditetapkan, penilaian prestasi kerja juga merupakan proses mengevaluasi dan
menilai prestasi kerja karyawan diwaktu yang lalu atau untuk memprediksi
prestasi kerja di waktu yang akan datang dalam suatu organisasi. Kinerja
karyawan pada dasarnya adalah hasil kerja karyawan selama periode tertentu.
Pemikiran tersebut dibandingkan dengan target/ sasaran yang telah disepakati
bersama. Tentunya dalam penilaian tetap mempertimbangkan berbagai keadaan dan
perkembangan yang mempengaruhi kinerja tersebut.
Hani Handoko (2000:98) menyebutkan bahwa penilaian kinerja terdiri dari
3 kriteria, yaitu penilaian berdasarkan
hasil yaitu penilaian yang didasarkan adanya target dan ukurannya spesifik
serta dapat diukur, penilaian berdasarkan perilaku yaitu penilaian
perilaku-perilaku yang berkaitan dengan pekerjaan, dan penilaian berdasarkan judgement
yaitu penilaian yang berdasarkan kualitas pekerjaan, kuantitas pekerjaan,
koordinasi, pengetahuan pekerjaan dan ketrampilan, kreativitas, semangat kerja,
kepribadian, keramahan, intregitas pribadi serta kesadaran dan dapat dipercaya
dalam menyelesaikan tugas.
Ivancevich
(2009: 68) penilaian yang baik harus dapat menggambarkan yang akurat tentang
yang diukur. Artinya penilaian tersebut benar-benar menilai kinerja karyawan.
Untuk itu maka ada 2 hal yang perlu diperhatikan:
a.
Penilaian hares mempunyai
hubungan dengan pekerjaan (job related), artinya sistem penilaian itu
benar-benar menilai perilaku atau kerja yang mendukung kegiatan organisasi
dimana karya-wan itu bekerja;
b.
Adanya standar pelaksanaan kerja (performance standard). Standar
pelaksanaan adalah ukuran yang dipakai untuk menilai kinerja tersebut. Agar
penilaian itu efektif maka standar penilaian hendaknya berhubungan dengan hasilhasil
yang diinginkan setiap pekerjaan. Dengan demikian maka standar pelaksanaan
kerja ini semacam alat ukur kinerja. Alat ukur yang balk harus memenuhi
sekurangkurangnya dua kriteria yakni reliabilitas dan validitas. Alat yang
validitasnya tinggi apabila alat itu mengukur apa yang hares diukur. Sedangkan
alat yang reliabilitasnya tinggi apabila alat ukur itu mempunyai hasil yang
konsisten.
Dalam
melaksanakan pengukuran atau penilaian terhadap pelaksanaan kinerja dibutuhkan
suatu penilaian yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat dalam
sistem penilaian tersebut adalah:
a.
Relevance, sistem penilaian digunakan untuk mengukur kegiatankegiatan yang
ada hubungan antara hasil pekerjaan dan tujuan yang telah ditetapkan terlebih
dahulu.
b.
Acceptability, hasil dari sistem penilaian tersebut dapat diterima dari
kesuksesan pelaksanaan pekerjaan dalam suatu organisasi;
c.
Reliability, hasil dari penilaian tersebut dapat dipercaya. Reliabilitas sistem penilaian
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: waktu dan frekuensi penilaian
d.
Sensitivity, berarti sistem
penilaian tersebut cukup pekes dalam menunjukkan kegiatan yang berhasil atau
gagal dilakukan oleh seorang karyawan. Hal ini sangat penting, karena jangan
sampai terjadi suatu sistem tidak memiliki kemampuan membedakan karyawan yang
berhasil dan karyawan yang tidak berhasil.
e.
Practicality, sistem penilaian
dapat mendukung secara langsung tercapainya tujuan organisasi perusahaan
melalui peningkatan produktifitas para karyawan.
Menurut Gibson
(2007: 72) ada beberapa tipe atau indikator penilaian organisasi yang
didasarkan atas deskripsi perilaku yang spesifik, adalah:
a.
Quantity of work, yaitu jumlah kerja yang dilakukan dalam suatu periode waktu yang
telah ditentukan.
b.
Quality of work, yaitu kualitas kerja yang dicapai berdasarkan syarat kesesuaian
clan kesiapannya.
c.
Creativeness, yaitu keaslian gagasan-gagasan yang dimunculkan dan
tindakan-tindakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul.
d.
Cooperation, yaitu
kesediaan untuk bekerjasama dengan orang lain (sesama anggota organisasi).
e.
Dependability, yaitu
kesadaran dan dapat dipercaya dalam hal kehadiran clan penyelesaian pekerjaan.
f.
Initiative, semangat
untuk melaksanakan tugas-tugas bare dan dalam memperbesar tanggung jawabnya.
g.
Personal quality, menyangkut kepribadian, kepernimpinan, keramah-tamahan, dan integritas
pribadi.
Selain itu Rivai (2009 :548) menjelaskan indikator dalam penilaian kinerja karyawan dapat dilihat dari
beberapa hal berikut ini, yaitu:
a.
Kualitas Output, yaitu hasil yang dicapai karyawan dalam bekerja seuai
dengan apa yang ditetapkan.
b.
Kuantitas Output, yaitu jumlah atau beban kerja yang dihasilkan karyawan
dapat dicapai sesuai dengan yang ditargetkan oleh pihak organisasi.
c.
Jangka Waktu Ouput, yaitu efesiensi waktu dalam melaksanakan pekerjaan
dapat dicapai karyawan dalam bekerja.
d.
Kehadiran ditempat Kerja, yaitu tingkat keaktifan karyawan dalam bekerja
yang dibebankan selama ini dapat
dilaksanakan sesuai dengan aturan.
e.
Sifat Kooperatif, yaitu adanya sikap yang baik dan aktif dari karyawan
dalam bekerja terhadap pelaksanaan tugas, tanggung jawab yang dibebankan oleh
organisasi dapat dilaksanakan dengan baik.
2.1.2. Ruang Lingkup Kompetensi
Suatu organisasi dibentuk oleh
sekelompok sumberdaya manusia secara bersama-sama membangun norma, nilai, dan
perilaku yang disepakati bersama sebagai acuan dalam melakukan interaksi dalam
organisasi. Kesepakatan bersama yang menjadi acuan bersama tersebut merupakan tujuan
organisasi. Sering kali terjadi bahwa suatu organisasi yang mempunyai pegawai
dengan latar belakang pendidikan baik dan catatan keberhasilan pada pekerjaan
sebelumnya. Hal tersebut dapat terjadi karena ketidakmampuan atau kurangnya
kompetensi yang dimiliki pegawai tersebut.
Dalam aktivitas suatu pekerjaan pastilah memerlukan yang namanya
kemampuan, karena tanpa adannya kemampuan tersebut, maka pekerjaan tidak akan
dapat dikerjakan sesuai dengan yang dikehendaki. Oleh sebab iutlah dalam
berkerja kemampuan merupakanmodal pertama yang harus ada.
Kamus Bahasa Indonesia (1999:89) menjelaskan akan definisi tentang
kemampuan. Kemampuan merupakan kesanggupan melakukan sesuatu. Pemahaman sesuatu
ini disesuaikan dengan posisi seseorang, jka ia seorang pegawai, maka sesuatu
itu adalah pekerjaannya. Jadi kemampuan merupakan kesanggupan seorang pegawai
untuk melakukan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya.
Swasto (1996:120) menyatakan bahwa perubahan kemampuan,
keterampilan, dan sikap yang positif merupakan salah satu ukuran keberhasilan
peserta pengembangan. Selanjutnya Swasto (1996:122) membedakan sikap sebagai
berikut:
1. Kemampuan tentang pengetahuan adalah pemahaman secara luas yang
mencakup segala hal yang pernah diketahui yang berkaitan dengan tugas-tugas
individu didalam organisasi.
2. Kemampuan pada keteramapilan merupakan kemampuan psikomotorik dan
teknik pelaksanaan kerja tertentu yang berkaitan dengan tugas individu dalam
suatu organisasi.
3. Kemampuan sikap, merupakan kemampuan yang mempunyai pengaruh
tertentu terhadap tanggapan kepada orang lain, objek dan situasi yang
berhubungan dengan orang tersebut.
Kemampuan (ability)
adalah suatu kapasitas individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu
pekerjaan. Sedangkan kemampuan kerja (employee ability) meliputi kecerdasan (attitude), keperibadian (personality), pengalaman (experience) pelatihan (training), perhatian /keterkaitan
(interest), pendidikan (educations)
dan daya tarik (intelligence). Gibson
(1996:137).
Swasto (1996:130) kemampuan menunjukkan potensi orang untuk
melaksanakan tugas dan pekerjaan.
Kemampuan berhubungan erat dengan kemampuan fisik dan mental yang
dimiliki orang dalam melaksanakan pekerjaan. Kemampuan karyawan rendah akan
menggunakan waktu dan usaha lebih besar dari pada karyawan yang berkemampuan
tinggi untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Setiap jenis pekerjaan menurut
pengetahuan, keterampilan dan sikap tertentu agar dapat melaksanakan pekerjaan
dengan baik.
Jadi kemampuan dalam melaksanakan pekerjaan dapat melalui
pendidikan yang relevan. Bilamana seseorang akan mengerjakan sesuatu tugas atau
pekerjaan yang asing, terasa perlu mempelajari cara-cara bagaimana
mengerjakannya dan hampir tidak ada seorang pun mampu melaksanakan gugas dengan
baik tanpa dipelajari terlebih dahulu.
Kompetensi sumberdaya manusia
diperlukan untuk mendorong keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai
tujuannya. Karena pada dasarnya merupakan suatu bentuk kemampuan dan kecakapan
sumberdaya manusia dalam berbagai bidang spesifik dan ditunjukkan dalam
berbagai karakteristik.
Menurut Amstrong dan Baron,
(1999:297) menjelaskan competence dan
competency. Competence
menggambarkan apa yang dibutuhkan seseorang agar ia mampu melaksanakan
pekerjaannya dengan baik. Pengertian competence
ini memberikan perhatian pada akibat (effect)
daripada usaha (effort) dan pada
output dari pada input. Competency mengacu
pada dimensi perilaku, sehingga sering disebut kompetensi perilaku bagaimana
orang berperilaku ketika mereka melakukan perannya dengan baik.
Menurut Spencer, (1993:9) kompetensi
sebagai suatu karakteristik dasar dari seorang individu yang secara sebab
akibat berhubungan dengan referensi ukuran efektif atau kinerja yang tinggi
dalam suatu pekerjaan dan situasi.
Menurut Basri, dkk, (2009:298)
menjelaskan kompetensi secara umum diartikan sebagai kecakapan, keterampilan,
kemampuan. Kata
dasarnya sendiri yaitu kompeten, tentu saja berarti cakap, mampu, atau
terampil. Pada konteks manajemen SDM istilah konpetensi mengacu kepada
atribut/karakteristik seseorang yang membuatnya berhasil dalam pekerjaannya.
Menurut McClelland, (1999, 135)
mendefinisikan kompetensi (competency)
sebagai karakteristik yang mendasar yang dimiliki seseorang yang berpengaruh
langsung terhadap atau dapat mempridiksikan, kinerja yang sangat baik. Dengan
kata lain kompetensi adalah apa yang para outstanding
performers lakukan lebih sering pada lebih banyak situasi dengan hasil yang
lebih baik dari pada yang dilakukan para avarage
performers.
Menurut Sanyoto (2000, 7)
kompetensi pada hakekatnya memiliki komponen-komponen antara lain, pengetahuan,
keahlian, dan perilaku, dengan demikian secara umum kompotensi dapat diartikan
sebagai tingkat keterampilan pengetahuan dan tingkah laku yang dimiliki oleh
seseorang/ individu dalam melaksanakan tugas yang dibebankan padanya dalam
suatu unit organisasi yang juga bisa berarti kemampuan seseorang untuk
menunjukkan hasil kerja sesuai dengan standar yang sudah ditentukan atau yang
diperlukan.
Sedangkan menurut Wibowo,
(2010 :266) menjelaskan kompetensi adalah kemampuan seseorang untuk
menghasilkan pada tingkat kepuasan ditempat kerja, termasuk diantaranya
kemampuan seseorang untuk mentransfer dan mengaplikasikan keterampilan dan
pengatahuan tersebut dalam situasi yang baru dan meningkatkan manfaat yang
disepakati. Selain itu
kompetensi juga menunjukkan karakteristik pengetahuan dan keterampilan yang
dimiliki atau dibutuhkan oleh setiap individu yang memampukan mereka untuk
melakukan tugas dan tanggung jawab mereka secara efektif dan meningkatkan
standar kualitas profesional dalam pekerjaan mereka. Kompetensi menjelaskan apa
yang dilakukan orang di tempat kerja pada berbagai tingkatan dan merinci
standar masing-masing tingkatan, mengindentifikasi karakteristik, pengetahuan
dan keterampilan yang diperlukan oleh individu yang memungkinkan menjalankan
tugas dan tanggung jawab secara efektif.
Berdasarkan
definisi tersebut dapat disimpulkan kompetensi adalah aktivitas yang dilakukan
orang di tempat kerja pada berbagai tingkatan dan merinci standar masing-masing
tingkatan, mengindentifikasi karakteristik, pengetahuan dan keterampilan yang
diperlukan oleh individu yang memungkinkan menjalankan tugas dan tanggung jawab
secara efektif guna mencapai tujuan pribadi dan organisasi.
Kompetensi
merupakan kemampuan dalam menjalankan tugas atau pekerjaaan dengan dilandasi
oleh pengetahuan, keterampilan, dan didukung oleh sikap yang menjadi
karakteristik individu.
Spencer, (1993:9)
memberikan lima
tipe atau karaktersitik dasar dari kompetensi, yaitu:
a.
Motif
merupakan sesuatu yang secara terus menerus dipikirkan atau di inginkan oleh
seseorang yang menyebabkan adanya tindakan. Motif ini menggerakkan, mengarahkan
dan memilih perilaku terhadap tindakan tertentu atau tujuan dan berbeda antara
orang yang satu dengan orang lainnya.
b.
Sifat
merupakan karakteristik fisik dan responden yang konsisten terhadap situasi dan
informasi.
c.
Konsep
diri merupakan karaktersitik fisik dan responden yang konsisten terhadap
situasi dan informasi.
d.
Pengetahuan, merupakan informasi mengenai seseorang yang memiliki bidang
subtansi tertentu.
e.
Keahlian
merupakan kemampuan untuk melaksanakan tugas dan mental tertentu.
Selain itu kompetensi
tenaga kerja dapat dibagi dalam beberapa kreteria konsepsi menurut Sanyoto
(2000, 8), yaitu :
1)
Konsepsi
Kompetensi merupakan kemampuan dan karakteristik yang dimiliki oleh seorang
tenaga kerja atau pekerja berupa pengetahuan, keterampilan, dan sikap perilaku
yang diperlukan didalam pelaksanaan tugas jabatannya. Sebagai akibat
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan mewujudkan Good Govermance dan otonomi daerah, tantangan akan semakin
kompleks, maka setiap perusahaan dituntut untuk dapat memiliki tenaga– tenaga
kerja yang mempunyai kompetensi yang memadai untuk dapat mengikuti perkembangan
jaman yang selalu berubah.
2)
Konsepsi
Paradigma merupakan satu pola pikir yang melibatkan berbagai disiplin ilmu
pengetahuan sebagai antisifasi permasalahan yang rumit dalam satu organisasi
dimana pola pikir itu telah diuji melalui uji validasi dan mendapat tindakan
berikutnya. Model yang baik akan dimulai dengan sifat introfeksi diri mawas
diri dan kemuadian akan diikuti dengan keterbukaan.
3)
Team Learning atau
Pembelajaran Tim, merupakan suatu pembelajaran yang diupayakan agar dapat
menjalani proses pekerjaan dan dapat mengembangkan kekuatan serta kematangan
guna menghadapi berbagai persoalan disetiap pekerjaan dalam bentuk tim.
4)
Sistem Thingking atau Berpikir Sistemik,
merupakan satu kerangka pikir yang mengandung pengetahuan yang sangat komplek
dan tersusun secara sistematik sehingga dapat menjalin suatu pemikiran yang
utuh dan bulat sehingga dapat saling mempengaruhi dalam melihat permasalahan
baik didalam maupun diluar organisasi.
Menurut Amstrong dan Baron,
(1999:297) berpendapat bahwa kompetensi dapat diklasifikasikan dalam tiga
tingkatan, yaitu:
a. Kompetensi inti merupakan kompetensi yang harus dimiliki semua
orang dalam organisasi secara menyeluruh. Apabila seseorang tidak memiliki
kompetensi, maka orang tersebut tidak sesuai untuk bekerja dalam organisasi
tersebut.
b. Kompetensi genetic merupakan kompetensi yang perlu dimiliki oleh
orang yang mempunyai pekerjaan yang sama. Pendapat lain menamakan kompetensi
ini sebagai kompetensi fungsional.
c. Kompetensi peran spesifik merupakan kompetensi untuk suatu peran
yang unik, spesifik atau tugas khusus yang harus dapat dilakukan. Ada pula pendapat lain
yang menamakan sebagai kompetensi manajerial.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 16 Tahun 2007 Tanggal 4 Mei 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan
Kompetensi Guru menjelaskan standar
kompetensi guru yang harus dimiliki oleh setiap guru/tenaga pendidik, yaitu:
a.
Kompetensi Pedagogi
1)
Menguasai karakteristik pserta didik dari aspek sifik, moral, sosial,
kultural, emosional, dan intektual.
2)
Menguasai teori belajar dan
prinsip pembelajaran yang mendidik.
3)
Mengembangkan kurikulum yang terkait dengan bidang pengembangan yang
dicapai.
4)
Mengembangkan kegiatan
pengembangan yang mendidik
5)
Memanfaatkan teknologi informasi
dan komunikasi untuk kepentingan penyelenggaraan kegiatan pengembangan yang
mendidik.
6)
Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik.
7)
Menyelenggarakan penilaian, evaluasi dan hasil belajar.
8)
Memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran.
9)
Melakukan tindakan reflektif
untuk peningkatan kualitas pembelajaran.
b. Kompetensi Kepribadian
1)
Bertindak sesuai dengan norma
agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional Indonesia.
2)
Menampilkan pribadi yang jujur,
berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat.
3)
Menampilkan diri sebagai pribadi
yang mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa.
4)
Menunjukkan etos kerja, tanggung
jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru, dam rasa percaya diri.
5)
Menjunjung tinggi kode etik profesi guru
c. Kompetensi Sosial
1)
Bersikap inklusif, bertindak
objektif, serta tidak diskriminatif karena pertimbangan jenis kelamin, agama,
ras, kondisi fisik, latar belakang keluarga dan status sosial ekonomi.
2)
Berkomunikasi efektif, emaptik,
dan santun dengan sesama pendidik, tenaga pendidik, orang tua dan masyarakat.
3)
Berkomunikasi dengan komunitas
profesi sendiri dan profesi lain secara lisan dan tulisan atau bentuk lain.
d. Kompetensi Profesional
1) Menguasai materi, struktur, konsep, pola pikir keilmuan yang
mendukung mata pelajaran yang diampu.
2) Menguasai standar kompetensi dan komptensi
dasar mata pelajaran/bidang pengembangan yang diampu.
3) Mengembangkan materi pembelajaran yang diampu
secara kreatif.
4) Mengembangkan keprofesionalisme secara
berkelanjutan dengan melakukan tindakan reflektif.
5) Memanfaatkan teknologi informasi dan
komunikasi untuk berkomunikasi dan mengembangkan diri.
Berbagai metode dapat dilakukan untuk mengukur
kompetensi. Untuk dapat menghasilkan akurasi yang lebih tinggi, biasanya
dilakukan pengukuran dengan beberapa metode sekaligus. Setelah berhasil
membuat/ menyusun akan model kompetensi, mengindentifikasi kompetensi apa saj
ayang dibutuhkan pada semua pekerjaan dalam organisasi maupun kompetensi pada
pekerjaan tertentu, tahap terpenting berikutnya adalah mengindentifikasi dengan
akurat tingkat kompetensi yang dimiliki oleh para karyawan (maupun calon
karyawan). Hal ini dilaukan agar dapat mengindentifikasi karyawan yang paling
memenuhi persyaratan untuk menduduki suatu jabatan tertentu.
Menurut Handoko, (2001,112-116)
menjelaskan akan teknik yang digunakan untuk mengukur kompetensi, yaitu :
a. Metode praktis (on the job
training)
Teknik on the
job merupakan metode latihan dan pendidikan yang paling banyak
digunakan. Berbagai mcam teknik ini yang biasa digunakan dalam praktek adalah:
1)
Rotasi jabatan, memberikan kepada
karyawan pengetahuan tentang bagian-bagian yang berbeda dan praktek berbagai
macam keterampilan manejerial.
2)
Latihan instruksi pekerjaan,
petunjuk pengajaran diberikan secara langsung pada pekerjaan dan digunakan
terutama untuk melatih karyawan tentang cara pelaksanaan pekerjaan mereka sekarang
3)
Magang, erupakan proses belajar dari seorang atau beberapa orang yang lebih
berpengalaman. Pendekatan ini dapat
dikombinasikan dengan latihan off-the job
training.
4)
Coaching, penyelia atau atasan memberikan
bimbingan dana pengarahan kepada karyawan dalam pelaksanaan kerja rutin.
Hubungan penyelia dan karyawan sebagai bawahan serupa dengan hubungan orientasi
mahasiswa.
5)
Penugasan sementara, penempatan
karyawan pada posisi manejerial sebagai anggota panitia tertentu untuk jangka
waktu yang ditetapkan. Karyawan terlibat dalam pengambilan keputusan dan
pemecahan masalah-masalah organisasi/ perusahaan secara nyata.
b. Metode simulasi (off the job
training)
Metode atau pendekatan ini karyawan peserta didik dan dilatih
menerima presentasi suatu aspek organisasi dan diminta untuk menanggapi seperti
dalam keadaan sebenarnya. Dimana antara metode-metode simulasi yang paling umum
digunakan adalah :
1)
Metode studi kasus, suatu metode
yang diberikan kepada peserta berupa kasus, kemudian dipelajari dan
didiskusikan antara peserta diklat.
2)
Role playing suatu teknik memainkan
peran dan karakter dalam suatu kasus.
3)
Business game suatu simulasi pengambilan
keputusan skala kecil yang dibuat sesuai dengan situasi kehidupan bisnis nyata.
4)
Vestibue training bentuk pelatihan
ini dilaksanakan bukan oleh atasan, tetapi oleh pelatih khusus. Pendidikan dan
latihan yang diberikan diluar perusahaan dengan bentuk kegiatan out bond.
5)
Progran pengembangan ekskutif,
biasa diselenggarakan diperguruan / lembaga pendidikan dengan bentuk penataran,
seminar dan pelatihan lainnya.
2.1.3. Ruang Lingkup Pengalaman Kerja
Pengalaman adalah “guru terbaik”. Begitulah ungkapan lama
yang masih sangat relevan; kini dan di masa datang. Dekat dengan makna
pengalaman adalah ungkapan “jangan terantuk pada batu yang sama”. Begitu pula
ungkapan itu berlaku pada pengalaman kerja yang dimiliki seseorang.
Sampai-sampai setiap perusahaan yang akan merekrut dan menseleksi karyawan
baru, pengalaman kerja pelamar menjadi syarat utama. Unsur pengalaman dipandang
sebagai akumulasi dari pengetahuan dan kehidupan dalam proses belajar. Semakin
berpengalaman pelamar semakin besar peluang diterima perusahaan. Dengan catatan
syarat-syarat lainnya juga sudah terpenuhi.
Pengalaman seseorang dalam bekerja seharusnya dipandang
sebagai sumberdaya potensial dalam mengelola perubahan dirinya. Secara
rasional, pengalaman kerja pasti dapat dirasakan seseorang. Dari pengalamannya,
seharusnya seseorang memperoleh modal atau bekal dalam melihat unsur-unsur
penyebab keberhasilan dan kekurang-berhasilan dalam bekerja. Semakin
bertambahnya usia seseorang maka pengetahuan tentang pekerjaan semakin
meningkat dan cara memandang sesuatu juga semakin bijak. Misalnya ketika
seseorang pernah mengalami kelalaian kerja maka mungkin saja hal itu dirasakan
biasa-biasa saja. Toh orang lain pun pernah berbuat hal yang sama. Namun lama
kelamaan sejalan dengan unsur kematangan kepribadiannya maka timbul rasa
bersalah dan sesal dengan sendirinya. Disadarinya bahwa itu adalah suatu
kehilafan. Dan hal ini akan mendorongnya untuk berbuat yang lebih baik sesuai
dengan standar perusahaan. Mengapa? Karena di dalam kehidupan ini sebenarnya
padat dengan proses pengambilan keputusan. Jadi ketika karyawan dan manajemen
akan mengambil keputusan terbaiknya, dia akan memanfaatkan unsur-unsur
pengalaman kerjanya. Dasar pertimbangan mana keputusan yang dinilai layak dan
mana yang tidak atau kurang layak merupakan fungsi dari akumulasi pemahaman
tentang proses dan output dari perbuatan-perbuatannya selama ini.
Dalam kenyataannya bisa saja suatu pengalaman kerja
ditanggapi dengan cara yang berbeda sesuai dengan cara pandang setiap orang.
1)
Pengalaman kerja bisa jadi dipandang
karyawan sebagai sumberdaya untuk memperbaiki diri dari kesalahan yang
diperbuatnya. Sementara kalau ada keberhasilan maka akan mendorongnya untuk
paling tidak mempertahankannya dan maksimum meningkatkan kerja dan kinerjanya.
Karyawan seperti ini termasuk orang yang dinamis dan optimis.
2)
Pandangan karyawan lainnya memaknai
pengalaman kerja sebagai hal yang biasa. Sepertinya tak ada kesan sama sekali.
Karyawan seperti ini termasuk golongan yang bekerja hanya dipandang
sebagai kehidupan yang rutin saja. Dengan kata lain apatis terhadap pengalaman
kerjanya.
3)
Karyawan yang ketika memiliki pengalaman
pahit lalu merasa kepercayaan dirinya langsung jatuh. Mereka merasa tidak
memiliki bakat dan kemampuan untuk bekerja dengan baik. Sementara kalau punya
pengalaman manis, perasaannya diungkapkan secara berlebihan. Merasa dirinya
paling bisa dan unggul. Karyawan seperti ini termasuk golongan yang labil dan
tidak mampu mengelola diri secara seimbang.
Apa yang harus dilakukan oleh perusahaan dan individu
perorangan dengan pengalaman kerjanya? Perusahaan seharusnya memandang suatu pengalaman kerja individu dan
perusahaan adalah buah dari proses
pembelajaran. Selain itu pengalaman kerja perlu ditempatkan sebagai sumberdaya individu dan
perusahaan yang potensial. Karena itu perusahaan sebaiknya
mengakomodasi kegiatan-kegiatan pertukaran pengalaman kerja melalui
jalur-jalur:
1.
pertemuan seperti diskusi kelompok, seminar,
dan rapat kerja;
2.
pemberian informasi lewat leaflet dan brosur
atau jurnal/buletin;
3.
pelatihan dan pengembangan serta studi
banding untuk memperoleh pengalaman kerja yang baru;
4.
proses mutasi dan rotasi karyawan dalam
memperluas dan pengayaan pekerjaan; dan
5.
perusahaan dapat membuka semacam klinik kerja
untuk tempat konsultasi dan berbagi pengalaman kerja para karyawan dan atau
manajer.
Diharapkan dengan pengakomodasian kegiatan-kegiatan itu
akan terjadi perubahan-perubahan atau perbaikan dalam bekerja secara efisien
dan efektif. Pada gilirannya dapat meningkatkan kinerja karyawan dan
perusahaan.
Pengalaman kerja adalah proses pembentukan pengetahuan atau keterampilan tentang
metode suatu pekerjaan karena keterlibatan karyawan tersebut dalam pelaksanaan
tugas pekerjaan (Manulang, 1984 : 15).
Pengalaman kerja adalah ukuran tentang lama waktu atau masa kerja yang telah
ditempuh seseorang dapat memahami tugas – tugas suatu pekerjaan dan telah
melaksanakan dengan baik. (Ranupandojo, 1984 : 71).
Pengalaman kerja adalah pengetahuan atau keterampilan yang telah diketahui dan
dikuasai seseorang yang akibat dari perbuatan atau pekerjaan yang telah
dilakukan selama beberapa waktu tertentu (Trijoko, 1980 : 82).
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan, bahwa pengalaman kerja adalah tingkat penguasaan pengetahuan serta
keterampilan seseorang dalam pekerjaannya yang dapat diukur dari masa kerja dan
dari tingkat pengetahuan serta keterampilan yang dimilikinya.
Pengukuran pengalaman kerja sebagai sarana untuk menganalisa dan
mendorong efisiensi dalam pelaksanaan tugas pekerjaan. Beberapa hal yang
digunakan untuk mengukur pengalaman kerja seseorang adalah :
1) Gerakannya mantap dan lancar.
Setiap karyawan yang
berpengalaman akan melakukan gerakan yang mantap dalam bekerja tanpa disertai
keraguan.
2) Gerakannya berirama
Artinya terciptanya dari
kebiasaan dalam melakukan pekerjaan sehari – hari.
3) Lebih cepat menanggapi tanda – tanda.
Artinya tanda – tanda seperti
akan terjadi kecelakaan kerja.
4) Dapat menduga akan timbulnya kesulitan sehingga lebih siap
menghadapinya.
Karena didukung oleh pengalaman
kerja dimilikinya maka seorang pegawai yang berpengalaman dapat menduga akan
adanya kesulitan dan siap menghadapinya.
5) Bekerja dengan tenang.
Seorang pegawai yang
berpengalaman akan memiliki rasa percaya diri yang cukup besar (Asri, 1986 :
131)
Selain itu ada juga beberapa
faktor yang mempengaruhi pengalaman kerja karyawan. Beberapa faktor lain
mungkin juga berpengaruh dalam kondisi – kondisi tertentu, tetapi adalah tidak
mungkin untuk menyatakan secara tepat semua faktor yang dicari dalam diri
karyawan potensial . beberapa faktor tersebut adalah :
a. Latar belakang pribadi, mencakup pendidikan, kursus, latihan,
bekerja. Untuk menunjukkan apa yang telah dilakukan seseorang di waktu yang
lalu, yaitu:
b. Bakat dan minat, untuk memperkirakan minat dan kapasitas atau
kemampuan seseorang.
c. Sikap dan kebutuhan (attitudes and needs) untuk meramalkan
tanggung jawab dan wewenang seseorang.
d. Kemampuan – kemampuan analitis dan manipulatif untuk mempelajari
kemampuan penilaian dan penganalisaan.
e. Keterampilan dan kemampuan tehnik, untuk menilai kemampuan dalam
pelaksanaan aspek – aspek tehnik pekerjaan. (Handoko, 1984 : 241)
Ada beberapa hal juga untuk menentukan berpengalaman tidaknya seorang
karyawan yang sekaligus sebagai indikator pengalaman kerja yaitu :
a. Lama waktu/ masa kerja.
Ukuran tentang lama waktu atau
masa kerja yang telah ditempuh seseorang dapat memahami tugas – tugas suatu
pekerjaan dan telah melaksanakan dengan baik.
b. Tingkat pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki.
Pengetahuan merujuk pada konsep,
prinsip, prosedur, kebijakan atau informasi lain yang dibutuhkan oleh karyawan.
Pengetahuan juga mencakup kemampuan untuk memahami dan menerapkan informasi
pada tanggung jawab pekerjaan. Sedangkan keterampilan merujuk pada kemampuan
fisik yang dibutuhkan untuk mencapai/menjalankan suatu tugas atau pekerjaan.
c. Penguasaan terhadap pekerjaan dan peralatan
Tingkat penguasaan seseorang
dalam pelaksanaan aspek – aspek tehnik peralatan dan tehnik pekerjaan. (Foster,
2001 : 43).
Dari uraian tersebut dapat diketahui, bahwa seorang karyawan yang
berpengalaman akan memiliki gerakan yang mantap dan lancar, gerakannya
berirama, lebih cepat menanggapi tanda – tanda, dapat menduga akan timbulnya
kesulitan sehingga lebih siap menghadapinya, dan bekerja dengan tenang serta
dipengaruhi faktor lain yaitu : lama waktu/masa kerja seseorang, tingkat
pengetahuan atau keterampilan yang telah dimiliki dan tingkat penguasaan
terjadap pekerjaan dan peralatan. Oleh karena itu seorang karyawan yang
mempunyai pengalaman kerja adalah seseorang yang mempunyai kemampuan jasmani,
memiliki pengetahuan, dan keterampilan untuk bekerja serta tidak akan
membahayakan bagi dirinya dalam bekerja.
2.1.4. Ruang Lingkup Budaya Kerja
1. Definisi Budaya Kerja
Merupakan seperangkat sistem yang nampak
dalam nilai-nilai kerja, yang diperjuangkan dan diwujud-nyatakan menjadi satu
tatanan manajemen yang berkualitas. Hal ini akan tercermin dari sikap yang
menjadi perilaku, kepercayaan, cita-cita, pendapat dan tindakan yang diwujudkan
di dalam bekerja. Budaya kerja yang dilaksanakan secara baik dapat mengubah
sikap dan perilaku Sumber Daya Manusia ( SDM ) dalam pencapaian produktivitas
kerja yang lebih tinggi.
Budaya secara harfiah berasal dari
Bahasa Latin yaitu Colere yang memiliki arti mengerjakan tanah, mengolah,
memelihara ladang (Soerjanto Poespowardojo 1993, perpustakaan online).
Menurut The American Herritage
Dictionary mengartikan kebudayaan adalah sebagai suatu keseluruhan dari pola perilaku
yang dikirimkan melalui kehidupan sosial, seniagama, kelembagaan, dan semua
hasil kerja dan pemikiran manusia dari suatu kelompok manusia.
Menurut Koentjaraningrat budaya adalah
keseluruhan sistem gagasan tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka
kehidupan masyarakat yang dijadikan miliki diri manusia dengan cara belajar.
Kerja adalah perintah suci Allah kepada
manusia. Meskipun akhirat lebih kekal daripada dunia, namun Allah tidak
memerintahkan hambanya meninggalkan kerja untuk kebutuhan duniawi.
Konsep kerja adalah sebagai proses
penciptaan atau pembentukan nilai baru (tambahan) pada suatu unit sumber daya.
Mengingat akan abstraknya pengertian kerja dan adanya berbagai bentuk energy
tersebut, kerja (work) dioprasionalisasikan menjadi pekerjaan (job). Misalnya
keluar perintah: kerja terhadap perintah tersebut timbul pertannyaan: kerja
apa? Jawaban atasa pertannyaan itulah yang di sebut job. Begitu job di temukan,
harus pula diklarifikasikan hubungan antara job. Kemudian dirinci menjadi
tugass dan hubungan antara tugas didefinisikan. Tugas dibagikan (dialokasikan)
kepada tiap petugas. (taliziduhu ndhara)
Budaya Kerja adalah suatu falsafah
dengan didasari pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat,
kebiasaan dan juga pendorong yang dibudayakan dalam suatu kelompok dan
tercermin dalam sikap menjadi perilaku, cita-cita, pendapat, pandangan serta
tindakan yang terwujud sebagai kerja. (Sumber : Drs. Gering Supriyadi,MM dan
Drs. Tri Guno, LLM, perpustakaan online )
Menurut Budhi paramita budaya kerja
dapat dibagi menjadi:
1) Sikap
terhadap pekerjaan, yakni kekuasaan akan kerja dibandingkan dengan kegiatan
lain, seperti bersantai, atau semata-mata memperoleh kepuasan dari kesibukan
pekerjaan sendiri, atau merasa terpaksa melakukan sesuatu hanya untuk
kelangsungan hidupnya.
2) Perilaku
pada waktu bekerja, seperti rajin, berdedikasih, bertanggung jawab,
berhati-hati, teliti, cermat, kemauan yang kuat untuk memperlajari tugsa dan
kewajibannya, suka membantu sesame karyawan, atau sebaliknya.
3) Sikap
maupun prilaku tersebut terbentuk baik didalam masyarakat maupun didalam
organisasi atau prusahaan sudah barang tentu warna budaya kerja sedikit banyak
di pengaruhi oleh budaya masyarakat (makro) atau budaya organisasi (perusahaan)
yang bersangkutan.
Melaksanakan
budaya kerja tidak bisa dipisahkan dengan sumber daya manusia (SDM) itu
sendiri, karena budaya kerja sangat erat kaitannya dengan sikap/perilaku dan
paradigma berpikir manusia dalam menciptakan produktivitas kerja yang memadai.
Maka sebagai aparatur negara setiap manusia yang berada/bekerja dalam
instansi-instansi pemerintahan hendaknya mampu menciptakan budaya kerja yang
kondusif, di mana hal tersebut menjadi tuntutan dasar dalam menciptakan kinerja
modern (tepat guna).
Dalam
menciptakan sebuah sistem kerja untuk mewujudkan kinerja modern maka ada 3
faktor pendukung yang sangat penting, yaitu :
1) SDM
(sumber daya manusia) Untuk menciptakan kinerja modern erat kaitannya dengan
budaya kerja yang sedang berlaku sehingga peran serta setiap manusia didalamnya
menjadi hal mutlak yang menentukan arah budaya kerja itu sendiri. Dalam hal ini
setiap aparatur negara dalam menunaikan tugas-tugas kerja seharusnya memiliki
nilai-nilai :
a) Disiplin
Dalam
hal ini bukan hanya disiplin waktu yang menjadi perhatian setiap pekerja akan
tetapi disiplin dalam menunaikan setiap tugas yang dibebankan kepadanya atau
tanggung jawab kerjanya seharusnya bisa diselesaikan dengan baik. Berdisiplin
secara kuantitas waktu kerja dan kualitas hasil kerja harus menjadi budaya
kerja disetiap instansi-instansi pemerintahan.
b) Terampil/mampu
menciptakan inovasi kerja
Dengan
adanya tanggung jawab kerja berarti setiap pekerja juga diberikan keleluasaan
untuk menunjukkan atau mengejewantahkan setiap keterampilan yang dimilikinya
dalam menciptakan kualitas kerja yang inovatif sehingga terjadi pengembangan
kerja yang berkualitas.
c) Berbasis
pada Rasionalitas dan Kecerdasan Emosi
Penyaringan
setiap tenaga kerja termasuk tenaga-tenaga kerja dalam instansi-instansi
pemerintahan menjadi indikator bahwasanya kualitas sumber daya manusia menjadi
syarat utama dalam menduduki setiap jabatan/posisi yang tersedia. Termasuk juga
adanya pendidikan pelatihan-pelatihan yang dilaksanakan disetiap instansi
menjadi penunjang untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berbasis pada
rasionalitas dan kecerdasan emosi. Sebagai aparatur negara kita harus dibekali
dengan kematangan dan kecerdasan emosi dalam menghadapi setiap tantangan kerja.
d) Partisipatif/mampu
membangun budaya kerja kelompok atau kerjasama yang baik, baik itu secara horizontal
maupun vertikal.
Untuk
mewujudkan team work yang baik setiap pekerja seharusnya memiliki kemampuan
partisipatif agar dalam penyelesaian setiap tanggung jawab terjadi sinkronisasi
kerja yang efektif
e) Tulus
dan Ikhlas/mampu menempatkan atau memposisikan kerja sebagai tanggung jawab
kemanusiaan sehingga terwujud motivasi kerja yang positif (tanpa pamrih).
Hal
ini menjadi sangat penting untuk terpenuhi karena harus diakui bahwasanya
budaya kerja yang terjadi hampir di semua instansi pemerintahan banyak kehilangan
nilai ini. Para pekerja tidak memandang setiap tanggung jawab kerja yang
diberikan kepadanya mengandung nilai ibadah sehingga tidak mengherankan jika
disetiap pelaksana kerja/tugas para pekerja tidak mampu menempatkan diri
sebagai pelayan masyarakat yang menerapkan prinsip, standar, pola
penyelenggaraan pelayanan publik, dan pemberian pelayanan prima kepada
masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban aparatur pemerintah sebagai abdi
masyarakat.
2) Imbalan/Materi
Tidak
dapat dinafikkan bahwa setiap pekerja/pegawai memiliki hak untuk memperoleh
imbalan dari setiap tanggung jawab kerja yang mereka emban. Dan oleh karena itu
materi sebagai bentuk imbalan kerja menjadi hal penting untuk terpenuhi. Oleh
karena itu Karl Marx (dalam bukunya Das Kapital) menekankan bahwasanya untuk
mewujudkan sistem perekonomian yang baik termasuk untuk mencapai sebuah hasil
kerja yang masksimal maka setiap pekerja harus menerima imbalan/materi yang
setimpal dari setiap hasil kerjanya, dimana hal ini juga menjadi motivasi terbesar
bagi setiap pekerja untuk dapat menyelesaiakan setiap pekerjaannya secara
maksimal.
Hal
ini yang kemudian menjadi rujukan banyak negara dalam menciptakansebuah budaya
kerja, yang kemudian mengarah pada penerapan budaya kapitalis tersebut. Dalam
dunia bisnis/swasta budaya kerja kapitalis ini dapat dilihat dari pemberian
“bonus” bagi para pekerja selain dari gaji pokok yang biasa mereka terima,
dimana pemberian bonus ini sebagai bentuk imbalan dari hasil kerja mereka baik
secara kuantitas maupun pencapaian kualitas hasil kerja sedangkan dalam
instansi-instansi pemerintah biasa kita kenal dengan istilah honor yang
belakangan ini kemudian menggelinding sebuah program sertifikasi (bagi Guru)
dan tunjangan kinerja dibeberapa instansi pemerintahan dimana semua itu
merupakan “penghasilan tambahan” sebagai buah dari hasil kerja yang dilakukan.
Inilah
yang kemudian menjadi salah satu indikasi bahwasanya kita sedang menerapkan
budaya kerja kapitalis di instansi-instansi pemerintahan. Pada dasarnya hal ini
kemudian menjadi kontradiktif dengan poin (e) pada ulasan tentang SDM diatas,
karena sebagai aparatur negara yang digaji oleh “rakyat” maka selayaknya kita
mampu memberikan/mendedikasikan segala tenaga dan pikir untuk negara dan
memposisikan diri sebagai pelayan masyarakat tanpa mematerikan setiap bentuk
pelayanan yang kita berikan sehingga tidak selayaknya budaya kerja kapitalis
berada dalam ruang lingkup kerja kita.
Akan
tetapi hal ini memerlukan kajian yang lebih dalam disertai dengan analisa
aktual yang mendalam karena efektifitas sebuah penerapan sistem dalam budaya
kerja sangat bergantung dari pencapaian hasil yang ditargetkan. Dalam artian
jika budaya kerja berbasis sistem kapitalis ini mampu menciptakan kinerja yang
lebih produktif maka hal ini kemudian menjadi suatu hal yang seharusnya
diterapkan dalam setiap ruang lingkup kerja termasuk instansi-instansi
pemerintahan di Indonesia.
3) Hasil
Guna
Terlepas
dari sistem apa yang kita anut dalam menciptakan budaya kerja hal terpenting
adalah bagaimana kita bisa memberikan hasil kerja yang tepat guna karena dalam
setiap pekerjaan bukan hanya hasil yang diinginkan akan tetapi bagaimana hasil
kerja kita tepat guna dalam artian dalam melaksanakan setiap pekerjaan kita
diberikan sebuah tanggung jawab besar untuk menyelesaikannya dengan baik.
2.
Manfaat
dan Macam Budaya Kerja
Budaya
kerja memiliki tujuan untuk mengubah sikap dan juga perilaku SDM yang ada agar
dapat meningkatkan produktivitas kerja untuk menghadapi berbagai tantangan di
masa yang akan datang.
Manfaat
dari penerapan budaya Kerja yang baik adalah meningkatkan jiwa gotong royong, meningkatkan
kebersamaan, saling terbuka satu sama lain, meningkatkan jiwa kekeluargaan, meningkatkan
rasa kekeluargaan, membangun komunikasi yang lebih baik, meningkatkan
produktivitas kerja dan tanggap dengan perkembangan dunia luar.
Menurut
Erwin (2001: 97) menjelaskan akan manfaat dari budaya kerja antara
lain :
1) Menjamin
hasil kerja dengan kualitas yang terbaik.
2) Membuka
seluruh jaringan komunikasi, keterbukaan, kebersamaan dan kekeluargaan.
3) Lebih
mudah untuk menemukan kesalahan dan cepat untuk memperbaikinya.
4) Cepat
menyesuaikan diri dengan dunia luar.
5) Mengurangi
laporan berupa data dan informasi yang salah.
6) Meningkatnya
kepuasan di dalam bekerja.
7) Membuat
pergaulan menjadi lebih akrab.
8) Meningkatnya
tingkat kedisiplinan di dalam kerja.
9) Mengurangi
pengawasan secara fungsional.
10) Mengurangi
tingkat absensi dan pemborosan.
a.
Budaya
Dalam Organisasi Sosial
Budaya
merujuk kepada falsafah yang berkaitan dengan perilaku, tindakan dan pembawaan
yang secocok dengan adat resam dan kebiasaan manusia. la juga berkait rapat
dengan aspek-aspek norma dari moral tertentu yang disepakati dan diterima
bersama oleh sesuatu masyarakat. Dengan itu budaya boleh dikaitkan dengan
ciri-ciri sifat, sikap dan kebiasaan individu, masyarakat atau bangsa. Dan
budaya inilah yang menentukan kedudukan mereka sama ada berjaya, cemerlang,
gagal atau mundur. Salah satu daripada elemen budaya ialah kerjasama dan
permuafakatan. Semangat kerja dan rasa setiakawan ialah antara aspek yang
sangat rapat dengan cara hidup masyarakat dan budaya orang timur.
b.
Budaya
Dalam Organisasi Kerja
Organisasi
merupakan wadah bagi pembentukan budaya kecilnya (sub-budaya) yang tersendiri.
Dalam konteks organisasi, budaya boleh diertikan sebagai peraturan dan panduan
kepada sistem tingkahlaku dan amalan individu sebagai anggota (pekerja) kepada
organisasi. Budaya ini seumpama baja yang menyuburkan organisasi bagi
menghasilkan buah yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Organisasi yang
digerakkan tanpa budaya kerja yang sihat akan menghadapi krisis tertentu
berkaitan dengan sikap, perilaku, tindakan, amalan dan kepercayaan manusia pekerja
didalamnya. Amalan dan penghayatan nilai-nilai positif dalam organisasi ini
akan dapat mendorong manusia pekerja menjalankan tugas dengan penuh komitmen
dan kolektif. Menerusi budaya kerja murni, amalan negatif akan dapat
dihindarkan, manakala perlakuan baik dapat dipertingkatkan bagi membolehkan
organisasi bergerak lancar mencapai matlamatnya. Oleh yang demikian secara
keseluruhannya, pengamalan dan penghayatan amalan kerja yang betul akan
memantapkan budaya kecemerlangan dalam organisasi.
Budaya
kerja yang mendorong ke arah kejayaan organisasi ini dikenali juga sebagai
budaya korporat. Budaya korporat boleh ditakrifkan sebagai suatu bentuk amalan,
perlakuan dan tindakan yang bertujuan untuk menerbitkan perasaan dan sentimen
tertentu dalam organisasi, seperti dalam rajah di bawah. Amalan seperti
mengutamakan pelanggan, membuat keputusan secara kolektif, sikap prihatin
terhadap pekerja, komunikasi dua hala dan sebagainya, adalah antara ciri-ciri
dalam budaya korporat. Budaya korporat inijika telah mantap pastinya akan
member sumbangan berkesan dalam penghasilan output yang berkualiti. Penghasilan
perkhidmatan yang berkualiti dan berkesan akan memberi kepuasan kepada
pelanggan. Manakala kepuasan dan kepercayaan pelanggan terhadap organisasi
merupakan suatu bentuk pengiktirafan dan ganjaran yang tertinggi kepada para
pekerja. (zahrial fakhri)
c.
Pembentukan
Budaya Kerja
Budaya
kerja organisasi tidak lahir sendiri secara terpisah dengan persekitarannya.
Sebaliknya ia terhasil menerusi gabungan nilai- nilai asas yang dibawa oleh
individu, nilai-nilai khusus yang dimiliki oleh organisasi dan nilai- nilai
umum yang terdapat dalam masyarakat. Oleh yang demikian, budaya korporat
terhasil menerusi gabungan nilai individu pekerja, norma masyarakat dan prinsip
yang ingin diterapkan organisasi. Ini menunjukkan terdapat hubung kait dan
pertalian yang kukuh dalam pembentukan budaya kerja (korporat) antara peringkat
individu, masyarakat dan organisasi.
d.
Beberapa
Model Budaya Kerja
Kajian-kajian
yang dilakukan mengenai budaya kerja organisasi telah menampilkan beberapa
model tertentu iaitu budaya autoritarian, budaya birokratik, budaya tugas,
budaya individualistik, budaya tawar- menawar dan budaya kolektiviti (lihat
hllraian lengkap Sivalingam dan Siew Peng Yong, 1992)E-Book online.
1) Budaya
Kerja Autoritarian Budaya kerja jenis ini menumpukan kepada 'command and
control'. Kuasa dan autoriti dalam organisasi biasanya terpusat kepada
pemimpinnya yang seringkali disanjung sebagai, hero' .Pekerja akan diharapkan
untuk memperlihatkan kesetiaan yang tinggi kepada pemimpin. Arahan dan
peraturan dihantar dari atas menuju ke dasar organisasi. Budaya bentuk ini
seringkali diamalkan dengan berkesan dalam organisasi yang bersaiz kecil
seperti pemiagaan keluarga, syarikat kecil dan firma sederhana. Bagaimanapun
terdapat agensi swasta yang melaksanakan budaya kerja ini dimana keputusan
ditentukan oleh pengasas atau pemegang saham utama, manakala pekerja tidak
mempunyai suara kecuali sebahagian kecil individu dalam organisasi yang diberi
kepercayaan oleh pemilik atau pemegang saham utama tadi. Asas kepercayaan boleh
berdasarkan kepada unsure nepotisme, kronisme, peribadi atau mungkin juga
kecekapan. Dengan demikian hubungan personal yang rapat dengan pihak atasan
adalah factor penting dalam kelancaran pekerjaan dan kenaikan pangkat. Oleh itu
bagi menjaga kepentingan, pekerja cenderung untuk bersikap 'yes man , dan 'play
safe' daripada memberi pandangan kritikal bagi menjaga kedudukan dan
kepentingan masing-masing.
2) Budaya
Kerja Birokratik Budaya kerja birokratik ini berasaskan kepada konsep bahawa
organisasi boleh diurus dengan cekap menerusi kaedah pengurusan bersifat
impersonal, rasional, autoriti dan formaliti. Impersonal bermaksud setiap
pekerja tertakluk kepada peraturan dan prosedur yang sama dan harus menerima
layanan yang sama. Peraturan dan prosedur tersebut adalah dilaksanakan secara
formal untuk mengingatkan pekerja akan etika dan keperluan yang dikehendaki
daripada mereka. Jawatan dalam organisasi adalah disusun mengikut hierarki
supaya tanggungjawab, penyeliaan, autoriti dan akauntabiliti jelas dan mudah
diikuti. Manakala untuk mempastikan kelancaran dan kecekapan kerja,
pengkhususan tugas dilakukan iaitu dengan memecah- mecahkan kerja menjadi lebih
spesifik supaya pekerja mudah menguasai dan cekap melakukannya. Dalam masa yang
sama, faktor meritokrasi digunapakai dalam organisasi iaitu pengambilan pekerja,
kenaikan pangkat dan pemberian ganjaran diberi berdasarkan kebolehan dan
prestasi kerja masing-masing.
3) Budaya
Kerja Fungsional Organisasi-organisasi kerja yang berjaya di Barat sering
mengamalkan budaya kerja fungsional atau 'project-based' ini. Dalam konsep
fungsional, kerja dalam organisasi dibahagi dan ditugaskan kepada individu atau
pasukan tertentu. Projek yang paling penting akan diserahkan kepada pekerja
atau sekumpulan pekerja yang paling berkemampuan. Apabila projek tersebut
selesai, maka tugas individu atau kumpulan akan selesai dan kumpulan baru pula
akan dibentuk bagi melaksanakan projek yang lain. Oleh itu, struktur kumpulan
adalah fleksibel dan interaksi adalah berasaskan kemahiran dan
hormat-menghormati. Keputusan akan diperolehi selepas perbincangan, perundingan
dan persetujuan para anggota projek. Oleh itu kejayaan dinilai berasaskan
kebolehan menyempurnakan projek yang memuaskan pelanggan. Bekerja secara
bersama bagi menjayakan sesuatu projek ini membentuk solidariti pekerja dan
mendorong penyesuaian antara personaliti yang berbeza kerana mereka sama-sama
bertanggungjawab kepada kejayaan organisasi.
4) Budaya
Kerja Individualistik Dalam organisasi yang mengamalkan budaya kerja ini,
individu tertentu menjadi tumpuan utama. Terdapat universiti yang bergantung
kepada profesor ternama untuk menarik pelajar dan mendapatkan tajaan. Begitu
juga firma konsultansi atau guaman biasanya bergantung penuh kepada individu
(konsultan atau peguam) tertentu yang popular bagi menarik pelanggan. Dalam
organisasi seperti ini segelintir kecil pekerja adalah tulang belakang kejayaan
syarikat kerana mereka mempunyai reputasi, kredibiliti, kepandaian dan
keterampilan. Kebolehan mendapatkan pelanggan seringkali menyebabkan mereka
kurang terikat kepada peraturan dan prosedur. Kenaikan pangkat sepenuhnya
bergantung kepada meritokrasi kerana setiap orang perlu membuktikan bahawa
mereka memberi sumbangan yang lebih daripada orang lain kepada organisasi.
5) Budaya
Kerja Tawar Menawar Dalam organisasi jenis ini, kesatuan pekerja diiktiraf
sebagai bahagian utama dalam organisasi. Kesatuan sekerja berfungsi untuk
menjaga kepentingan pekerja dan membantu pengurusan mencapai matlamat
organisasi. Perundingan dan tawar menawar berlangsung berdasarkan perundangan
dan prosedur yang diakui oleh kedua-dua belah pihak. Meskipun pertikaian dan
pertentangan pendapat kadangkala berlaku antara kesatuan sekerja dan majikan,
tetapi ia sering dapat diselesaikan di meja rundingan. Dari satu segi pihak
pengurusan boleh mendapat pandangan wakil kesatuan sekerja bagi melaksanakan
peraturan, sistem dan ganjaran. Manakala kesatuan sekerja akan mempastikan hak,
kepentingan dan kebajikan pekerja diberi jaminan. Secara keseluruhannya
pendekatan ini yang berkonsepkan hubungan rapat majikan pekerja bertujuan
mewujudkan situasi menang antara kedua belah pihak.
6) Budaya
Kerja Kolektif Dikatakan bahawa antara kunci kejayaan organisasi Jepun adalah
kebolehan mereka untuk menggunakan idea dan cadangan pekerja bawahan. Ini
kerana pekerja adalah 'pemilik proses kerja' dan mereka lebih mengetahui
tentang sistem dan tatacara melaksanakan kerja berbanding orang lain. Dengan
itu pekerja diberi peluang untuk mengemukakan cadangan dan kreativiti bagi
memperbaiki proses kerja, sistem dan prosedur. Unit asas bagi organisasi Jepun
adalah kumpulan kerja yang dianggotai oleh semua peringkat jawatan seperti
pakar, profesional, pengurus, juruteknik dan pekerja sokongan. Tetapi mereka
akan bergaul sama di tempat kerja, di meja makan dan di masa rehat. Oleh itu
komunikasi di tempat kerja berlangsung dengan lancar. Pengurus dan pekerja
samasama berusaha menyelesaikan masalah atau meningkatkan kecekapan dengan
perbincangan yang kerap. Penghargaan dan keuntungan diberi bukan berasaskan
individu sebaliknya kumpulan kerja. Oleh itu kerjasama antara anggota dalam
kumpulan adalah tinggi. Ciri-ciri seperti kesetiaan, keraj inan, komitmen,
menghormati superior, boleh bekerjasama dan mencapai sasaran kerja adalah antara
kriteria pertimbangan bagi kenaikan pangkat. Pengurusan pula memberi teladan baik,
berinisiatif dan mengutamakan kebajikan pekerja bawahan menerusi sifat-sifat
ikhlas, adil dan jujur. Oleh kerana syarikat dan pekerja menjalinkan hubungan
berasaskan kepercayaan dan niat baik, ramai menganggap organisasi Jepun
merupakan satu keluarga yang besar, merniliki identity sendiri dan dan
pertalian seumur hidup. Berbeza dengan budaya kerja projek, budaya kerja Jepun
bersifat 'bottom-up' menerusi penglibatan aktif pekerja meskipun struktur
organisasinya mempunyai hirarki tinggi.
2.1.5. Ruang Lingkup Motivasi
1. Definisi Motivasi
Motivasi dapat di jelaskan sebagai suatu sikap dan perilaku dalam
kehidupan. Kita sering melihat hal ini dalam sebuah persepsi manajemen bahwa
karyawan tidak mau bekerja, sangat malas bekerja apabila menghadapi suatu
keadaan memperoleh kompensasi yang tidak sebanding dengan hasil kerja.
Menurut Heidjrachman dan Husnan, (1990,:97) motivasi merupakan suatu
proses untuk mencoba mempengaruhi seseorang agar melakukan yang kita inginkan.
Selanjutnya menurut Winardi, (1997, 417) motivasi merupakan sesuatu hal
yang mendorong atau mengerakkan kita untuk berperilaku dengan cara tertentu.
Kemudian menurut Handoko (1996:136) motivasi adalah keseluruhan proses
pemberian motif bekerja pada bawahan sedemikian rupa sehingga mereka mau
bekerja secara ikhlas demi tercapainya tujuan organisasi secara efisien dan
ekonomis.
Sejalan dengan hal tersebut menurut Nitisemito, (1996, 197) motivasi
merupakan proses untuk mencoba mempengaruhi seseorang agar melakukan sesuatu
yang kita inginkan.
Sedangkan menurut Hasibuan (1996:95) motivasi adalah pemberian daya
penggerak yang menciptakan kegairahan kerja seseorang, agar mereka mau bekerja
sama, bekerja efektif dan terintegrasi dengan segala daya upayanya untuk
mencapai kepuasan.
Bedasarkan pengertian motivasi tersebut dapat disimpulkan bahwa motivasi
merupakan sebuah bentuk dorongan untuk menggerakkan seseorang agar dapat
bekerja lebih baik sesuai dengan yang ditetapkan dan ditargetkan melalui
pemenuhan kebutuhan baik secara jasmani maupun rohani dalam bentuk materiil
maupun non materiil.
2.
Bentuk Motivasi
Menurut Hasibuan
(1996:99) menjelaskan alat-alat motivasi kerja sebagai berikut:
a.
Materiil
insentif, yaitu alat motivasi yang diberikan dapat berupa uang dan atau barang
yang mempunyai nilai pasar, yang dapat memberikan kebutuhan ekonomis, seperti :
Kendaraan, rumah, dan lain-lain.
b.
Nonmateriil
insentif, yaitu alat motivasi berupa barang /benda yang tidak ternilai, yaitu
hanya memberikan kepuasan/ kebanggaan rohani saja, seperti medali, piagam,
bintang jasa, dan lain-lain.
c.
Kombinasi
materiil dan nonmateriil insentif, yaitu alat motivasi yang diberikan untuk
berupa materiil (uang/barang) dan nonmateriil (Medali/ piagam) yaitu pemenuhan
ekonomis dan kepuasan / kebanggaan
rohani.
Sedangkan menurut Heidjrahman dan Husnan (1990, 204) studi tentang
motivasi menemukan bahwa nampaknya pihak manajemen pada saat ini menggunakan
dua model motivasi secara bersama-sama. Adapun dua model motivasi tersebut,
yaitu:
a. Motivasi
positif, yaitu proses mempengaruhi orang lain agar menjalankan sesuatu yang
kita inginkan dengan cara memberikan kemungkinan untuk mendapat hadiah.
b. Motivasi
negatif, yaitu proses untuk mempengaruhi seseorang agar mau melakukan sesuatu
yang kita inginkan, tetapi teknik dasar yang digunakan adalah lewat kekuatan.
Motivasi positif bila karyawan melakukan sesuatu
yang diinginkan pimpinannya maka kemungkinan akan mendapatkan hadiah biasa
berupa uang, penghargaan, dan lain sebagainya, tetapi pada motivasi negatif
apabila karyawan tidak mau melaksanakan sesuatu yang diinginkan, maka pimpinan
dapat memberikan kemungkinan kepada karyawannya berupa kehilangan sesuatu
seperti penghargaan, uang atau jabatan.
motivasi tersebut dapat dilakukan dengan cara
memberikan motivasi positip dengan cara memberikan kompensasi bagi pegawai
sedangkan motivasi yang negatif dengan melakukan tindakan otoriter.
3.
Teknik Motivasi Kerja
Dalam kegiatan motivasi terdapat jenis maupun teknik dalam pelaksanaan
motivasi tersebut. Menurut Siagian (1998:134) menjelaskan teknik memotivasi
dari para pegawai, yaitu :
a.
Jelaskan
tujuan organisasi kepada setiap orang yang ada dalam organisasi. Usahakan agar
setiap orang menyadari, memahami serta menerima baik tujuan tersebut.
b. Jelaskan kebijaksanaan yang ditempuh
oleh pimpinan organisasi dalam usaha pencapaian tujuan.
c.
Jelaskan
filsafat pimpinan organisasi dalam menjalankan kegiatan organisasi dan usahakan
agar setiap orang mengerti struktur organisasi.
d. Jelaskan peranan apa yang diharapkan
pimpinan organisasi untuk dijadikan dan dijalankan oleh setiap orang.
e.
Tekankan
pentingnya kerja sama dalam melaksanakan kegiatan yang diperlukan.
f.
Berikan
penghargaan serta pujian kepada karyawan yang cakap dan teguran serta bimbingan
kepada orang-orang yang kurang cakap. Yakinkan pada setiap orang bahwa tujuan
pribadi orang-orang tersebut akan tercapai semaksimal mungkin.
Kemudian menurut Wahjusimodjo dalam bukunya Kepemimpinan dan
Motivasi, ada 5 (lima)
macam teknik motivasi, yaitu dengan kekuasaan, bersikap baik, melalui
perundingan, melalui kompetisi dan internalisasi.
Sementara itu menurut pendapat Sarwoto (1994:153-155) teknik
motivasi dikelompokkan menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu :
a. Motivasi langsung adalah penggerak kemauan kerja yang secara
langsung dan sengaja diarahkan kepada pekerja dalam jalan memberikan perangsang.
b. Motivasi tidak langsung, merupakan kegiatan dalam manajemen yang
secara implisit mengarah pada pemuasan kebutuhan individu dalam organisasi.
Bedasarkan
definisi tersebut dapat disimpulkan teknik pelaksanaan motivasi tersebut diatas
perlu diperhatikan oleh setiap pemimpin dalam rangka memotivasi bawahannya. Hal
ini sangat penting karena motivasi dikatakan berhasil apabila pemimpin dalam
rangka mengamati, memahami, mencari sebab-sebab, memperhitungkan, mengawasi,
mengubah serta mengarahkan perilaku bawahan sesuai denagn norma, keinginan dan
tujuan daripada organisasi.
4. Teori Motivasi
Menurut Manullang (1997, 156) kebutuhan atau keinginanlah yang mendorong
seseorang untuk bekerja adalah:
a.
Adanya
keinginan untuk hidup merupakan keinginan utama dari setiap manusia. Manusia
bekerja untuk mendapat makan dan manusia makan untuk melanjutkan hidup, maka
pada umumnya manusia berkeinginan untuk hidup berkeluarga, untuk mendapatkan
keturunan dan untuk memelihara hidup keluarga itu.
b.
Adanya
keinginan untuk memiliki sesuatu yang merupakan keinginan yang kedua yang
dihayati oleh setiap manusia pada umumnya. Semua orang berkeinginan untuk
memiliki sesuatu, apakah itu rumah, kendaraan dan lain sebagainya. Hal inilah
yang menyebabkan manusia mau bekerja.
c.
Adanya
keinginan akan kekuasaan yang merupakan keinginan untuk memiliki sesuatu yang
lebih berkuasa daripada orang lain yang tidak mempunyai apa-apa sama sekali.
d.
Adanya
pengakuan masyarakat di sekelilingnya bahwa ia adalah lebih daripada yang lain.
Usaha untuk memenuhi kebutuhan terakhir inilah yang menyebabkan orang memeras
tenaga dan pikirannya untuk mencipatakan ide baru dan mengerjakannya, keinginan
yang demikian merupakan salah satu sebab yang membuat manusia bekerja.
Asri,
(1996, 56), model teori motivasi berdasarkan kebutuhan manusia terdapat model
lainnya, yaitu berkenaan dengan perilaku timbul dan dijalankan tidak memusatkan
pada kebutuhan yang mendorong timbulnya motivasi sebagaimana teori sebelumnya.
model teori:
a. Teori pengharapan
Orang akan termotivasi untuk bekerja apabila
mereka :
1)
Mengharapkan
usaha yang ditingkatkan mengarah kebalas jasa tertentu.
2)
Menilai
balas jasa sebagai hasil dari usaha-usaha mereka.
b. Teori pembentukan perilaku
Empat teknik untuk merubah perilaku
bawahan:
1)
Penguatan
positif, meliputi penguatan primer atau sekunder
2)
Penguatan
negatif, individu mempelajari perilaku membuat konsekuensi tidak menyenangkan
dan kemudian menghindarinya dari masa datang.
3)
Pemandaman,
yaitu peniadaan penguatan dan hukuman
c. Teori pengukuhan, ini digunakan untuk
menjelaskan, menganalisa dan melaksanakan program, motivasi dalam organisasi
melalui prinsip operant yang menguraikan hubungan antar perilaku dan
berbagai macam kejadian didalam lingkungan.
d. Teori Porter Lawler, merupakan teori
penghargaan dari motivasi dengan versi orientasi masa mendatang dan juga
menekan antisipasi anggapan atau hasil. Implikasinya, meliputi:
1)
Pemberian
penghargaan sesuai dengan kebutuhan karyawan
2)
Penentuan
prestasi yang diinginkan
3)
Pembuatan
tingkat prestasi yang dapat dicapai
4)
Penghubungan
penghargaan dengan prestasi
5)
Penentuan
penghargaan yang memadai
e. Teori Keadilan
Teori ini mengemukakan bahwa seseorang
akan selalu membandingkan antar:
1)
Masukan
yang mereka berikan pada pekerjaannya dalam bentuk pendidikan, pengalaman,
latihan dan usaha.
2)
Hasil
(penghargaan) yang mereka terima, seperti juga mereka membandingkan balas jasa
yang diterima karyawan lain untuk jenis pekerjaan yang sama.
f. Teori harapan
Teori ini menyatakan bahwa terdapat
hubungan yang erat antara pengertian seseorang mengenai tingkah laku, dengan hasil
yang ingin dicapai sebagai harapan, ini berarti harapan merupakan tenaga
penggerak dalam melakukan kegiatan, guna pencapaian tujuan yang diinginkan yang
disebut sebagi usaha. Usaha yang dimaksud disini adalah berupa kegiatan bekerja
dengan dorongan akan suatu harapan tertentu.
g. Teori Penetapan Tujuan
Tujuan tidak sama dengan harapan. Tujuan
bersumber pada rencana strategik dan rencana operasional perusahaan yang tidak
dapat dipengaruhi oleh individu dan tidak dengan mudahnya dapat berubah-ubah
oleh sebab itu tujuan bersifat objektif. Karyawan yang dapat memahami dan
menerima tujuan perusahaan tempatnya bekerja serta merasa sangat sesuai dengan
dirinya akan merasa ikut bertanggung jawab dalam mewujudkan tujuan perusahaan.
Pada kondisi ini tujuan dapat berfungsi sebagai motivasi dalam melaksanakan
kegiatan perusahaan dan mendorong karyawan untuk bekerja secara efekti dan
efesien
Selanjutnya menurut
Manullang (1997:156) dikatakan bahwa kebutuhan atau keinginan yang mendorong seseorang untuk
bekerja adalah:
1) The desire to live, yaitu keinginan untuk hidup merupakan
keinginan utama dari setiap manusia. Manusia bekerja untuk mendapat makan dan
manusia makan untuk melanjutkan hidup, maka pada umumnya manusia berkeinginan
untuk hidup berkeluarga, untuk mendapatkan keturunan dan untuk memelihara hidup
keluarga itu. Dengan adanya keinginan untuk hidup inilah yang menyebabkan
mengapa manusia mau bekerja dengan segala daya upayanya.
2) The Desire for posession, yaitu keinginan untuk memiliki sesuatu
yang merupakan keinginan yang kedua yang dihayati oleh setiap manusia pada
umumnya. Semua orang berkeinginan untuk memiliki sesuatu, apakah itu rumah,
kendaraan dan lain sebagainya. Hal inilah yang menyebabkan manusia mau bekerja.
3) The desire for power, yaitu keinginan akan kekuasaan yang
merupakan keinginan untuk memiliki sesuatu yang lebih berkuasa daripada orang
lain yang tidak mempunyai apa-apa sama sekali.
4) The desire for recognition, merupakan jenis terakhir dari
pada kebutuhan. Umumnya manusia itu menginginkan adanya pengakuan masyarakat di
sekelilingnya bahwa ia adalah lebih dari yang lain. Usaha untuk memenuhi
kebutuhan terakhir ini yang menyebabkan orang memeras tenaga dan pikirannya
untuk mencipatakan ide baru dan mengerjakannya, keinginan yang demikian
merupakan salah satu sebab yang membuat manusia bekerja.
2.2.Penelitian Terdahulu
1.
Rudi, 2007 dengan judul
penelitian Pengaruh Motivasi dan Semangat serta Gairah Kerja terhadap Kinerja
Pegawai Pada Kantor Kecamatan Banjarmasin Tengah Kota Banjarmasin, hasil penelitian peneliti terdahulu
bahwa secara simultan dan parsial semua variable berpengaruh signifikan terhadap
kinerja pegawai pada Kantor Kecamatan Banjarmasin Tengah Kota Banjarmasin.
Sedangkan faktor yang berpengaruh dominan terhadap kinerja pegawai adalah motivasi. Persamaan antara
peneliti terdahulu dengan penulis adalah sama sama mengangkat masalah manajemen
SDM dan teknik analisis data yang digunakan seperti uji validitas,
realibilitas, uji asumsi klasik dan analisis regresi. Perbedaannya adalah obyek
yang diteliti peneliti terdahulu pada Kantor Kecamatan. Sedangkan penulis
pada lembaga pendidikan, variabel yang digunakan dan waktu pelaksanaan
penelitian.
2.
Bujani, 2008, dengan judul
penelitian Analisis Pengaruh Budaya Organisasi, Kemampuan Kerjaa dan Kompensasi
Terhadap Produktivitas Kerja Pegawai Pada
Dinas Koperasi Kota Banjarmasin dalam penelitian tersebut bahwa semua variable
mempunyai hubungan signifikan terhadap terhadap produktivitas kerja pegawai. Persamaan
peneliti adalah sama-sama membahas mengenai manajemen SDM juga sama dalan
instrumen penelitian melalui validitas dan reabilitas. Perbedaannya adalah
terletak pada analisis data uji persyaratan asumsi klasik sedangkan teknis
analisis data menggunakan teknik analisis statistic model Analisis Regresi
Linier Berganda obyek yang dijadikan sasaran penelitian, waktu penelitian, dan sasaran
responden.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar